World Dance Day Rasa Anak Muda Bandung
Dibalik jendela gedung bekas mengadili
Soekarno oleh Belanda itu terdapat foto maestro tari kreasi Tjetje
Soemantri yang meninggal 53 tahun lalu. Asap dupa mengepul, bau aroma
kembang menyeruak.
Sebuah petikan kecapi mengalun mengiringi
rajah Cianjuran. Tujuh orang penari perempuan memasuki halaman GIM.
Mereka salah satu kelompok tari yang turut memeringati World Dance Day
(Hari Tari Sedunia) gelaran Kelompok Anak Rakyat (LOKRA) yang
berlangsung sejak Jumat (29/04/2016).
Tujuh penari dari sanggar
tari Wirahma Bandung itu mempertunjukkan Tari Sulintang, salah satu tari
karya Tjetje Soemantri. Tarian mereka diiringi gamelan tradisional
Sunda dan suara sinden.
Angin malam tak mebuat gerak mereka kaku.
Dengan kostum biru sedada dilengkapi kain batik dan mahkota warna emas,
mereka memamerkan gerakan anggun dan lembut.
Sesekali wajah para
penari menyunggingkan senyum tipis kepada puluhan penonton yang duduk
di bawah pohon beringin halaman GIM. Sekitar 15 menit mereka menari.
Hampir pukul 22.00 WIB tarian mereka ditutup dengan penyalaan 100 lilin
sebagai api suci sebagai penghormatan pada sang maestro.
“Tjetje
Soemantri adalah pembaharu tari modern. Karyanya menjadi bagian
keragaman seni tari Indonesia. Karya almarhum disukai Soekarno, banyak
dipakai dalam acara kenegaraan,” jelas Ketua Lokra, Gatot Gunawan.
Lewat event tahunan itu digelar penghormatan pada Tjetje dengan menampilkan sejumlah karya tari ciptaannya.
Menurut
Gatot Gunawan, tari Sulintang disimpan di penghujung acara karena
memiliki unsur sakral yang kental. Di masa lalu tarian biasa dipakai
dalam ritual-ritual masyarakat sebagai penghubung dengan Sang Pencipta.
“Tari
sulintang untuk menambah kesakralan suasana penyalaan api suci, juga
supaya penonton tahu secara visual salah satu karya tari Pak Tjetje,”
jelas alumnus Jurusan Seni Tari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI)
Bandung yang mendirikan kelompok seni Lokra.
Hari Tari Dunia ala
Lokra menyajikan 33 karya terdiri dari tarian, performance art, teater.
Karya tersebut disajikan 200 penari dari 19 komunitas maupun kampus,
sanggar tari, sekolah dan koreografer.
Karya tersebut dimainkan di GIM, Jalan Asia Afrika, dan makam Tjetje Somantri di TPU Sirnaraga.
Berbeda
dengan World Dance Day di daerah lain di Indonesia yang digelar meriah
karena sokongan institusi atau pemerintah daerah, World Dance Day
digelar Lokra cukup bersahaja. Kendati demikian, kata Gatot Gunawan,
semangatnya tidak kalah gegap gempita.
“Lokra ingin menunjukkan bahwa Bandung juga memiliki peringatan World Dance Day.”
Dari
kepesertaan, peringatan World Dance Day di Bandung juga membanggakan
karena baik penyelenggara maupun peserta mayoritas anak muda, usianya
antara 20 sampai 29 tahun. Kebanyakan peserta masih kuliah. Dari 200
penari, 150 di antaranya mahasiswa, sisanya dari sanggar dan sekolah.
Persiapan
dilakukan sebulan dengan cara gotong royong. Tidak ada proposal yang
diajukan ke Pemda atau institusi lainnya. Misalnya pengadaan
soundsystem, Lokra mendapat bantuan dari Forum Komunikasi Guru Honorer
(FKGH). Sedangkan tempat difasilitasi GIM Family.
“Kita sponsor
patungan, kalau anggota Lokra ada yang punya lampu, ya bawa seada-ada.
Spirit Lokra kan mandiri, kita coba sekuat tenaga, pertunjukan sebesar
apapun harus bisa digelar mandiri jangan jadi beban pemerintah atau
mengandalkan proposal,” ungkapnya.
Ia menegaskan, Lokra bukan
anti proposal kepada pemerintah, tetapi ingin menanamkan nilai gotong
royong dalam setiap acara yang digelar. “Mumpung masih muda jangan
ngejurus ke sana. Apa salahnya gotong royong, memakai spirit Gedung
Indonesia Menggugat dan Asia Afrika,” katanya.
Meski digelar
dengan persiapan sederhana, ia mengaku bersyukur banyak peserta yang
merespons positif Hari Tari Dunia tersebut. Mereka bersedia tampil
menyuguhkan tarian tanpa mendapat amplop, hanya sertifikat atau piagam.
Mengenai kaitan Tjetje Somantri dengan Hari Tari Dunia, Gatot Gunawan menjelaskan, ada benang merah yang sangat kuat. Tjetje bukan hanya penari, tetapi juga guru tari yang banyak melakukan terobosan. Tjetje memodifikasi tari tradisional dengan teknik modern sehingga melahirkan gerak-gerak tari kupu-kupu, merak, dan sulintang.
Menurutnya
anak muda maupun masyarakat perlu mengapresiasi tarian-tarian ciptaan
leluhur. Tarian adalah seni yang menjembatani nilai-nilai leluhur dengan
generasi saat ini.
Dahulu tarian adalah pengantar nilai-nilai kearifan lokal. Namun kini banyak tari tradisional yang diambang kepunahan.
“Saya
harap tarian tradisional kita tidak kelah dengan tarian-tarian dari
luar yang berkembang pesat. Saya harap masyarakat juga merasa memiliki
bahwa kita punya tarian sendiri,” ujar pria berkacamata ini.
sumber : disini
Comments
Post a Comment